Membangun perekonomian rakyat melalui lembaga keuangan mikro (LKM) terutama koperasi, boleh dibilang komitmen paling tegas yang terus menerus dikampanyekan oleh pemerintah. Tidak peduli, siapa pun rezim yang memimpin negeri ini, maka “kecap” kampanye pembangunannya selalu bermuara pada itikad pemberdayaan ekonomi wong cilik tersebut.
Naasnya, keberpihakan lembaga keuangan dalam hal ini perbankan tidak sepenuhnya memberi respon positif bagi peningkatan citra koperasi. Bahkan, ada anggapan memberikan pinjaman koperasi selalu berujung dengan kemacetan karena sebagian besar tata kelola koperasi masih tradisional.
Benarkah lembaga perkoperasian kita selalu tak lepas dari praduga buruk sangka itu?Jawabnya justru muncul dari lembaga perbankan itu sendiri. Ketika sejumlah bank berpaling dari kesulitan tersebut, Bank Bukopin membuat terobosan melalui program swamitra.
Dalam praktiknya, bank ini menjalin kerja sama dengan koperasi untuk membentuk lembaga keuangan yang dikelola secara otonom dan profesional.
Bukopin memang sukses mengembangkan swamitra, namun tudingan sinis juga tak urung merebak. Bank ini dinilai menyedot bunga tinggi terhadap nasabah swamitra. Tapi tudingan itu tidak beralasan kata direktur utama Bank Bukopin Glen Glenardi. Menurut dia, kalau yang menjadi kendala di kredit mikro adalah bunga,maka tidak ada yang namanya money lender atau rentenir. Nyatanya, mereka tumbuh subur di lapis bawah masyarakat, padahal tingkat bunga mereka sangat tidak wajar.
Menarik ungkapan Glen Glenardi, direktur utama Bank Bukopin, yang mengatakan komitmen awal pendirian swamitra adalah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di lapis bawah. Sebab, komunitas lapisan bawah yang akrab disebut pengusaha mikro tersebut umumnya sulit bersentuhan dengan perbankan.
Glen menambahkan ,kendala klasiknya terletak pada agunan dan legalitas usaha. Karenanya saat swamitra beroperasi pada 1997, ia tidak berbicara soal profit. Misinya adalah bagaimana roda ekonomi di lapis bawah menggeliat. Sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) sosok swamitra nyaris tak jauh beda dengan lembaga sejenis yang juga dimiliki sejumlah perbankan. Sebut saja BRI Unit Desa yang sudah sejak lama beroperasi, atau Danamon Simpan Pinjam.
Sebagai lembaga keuangan yang bergerak di lapisan masyarakat bawah, swamitra memahami dengan baik budaya dan kebutuhan pasarnya. Umumnya para pengusaha mikro tersebut membutuhkan kecepatan dan kemudahan. Sedangkan bunga itu sangat relative.
Menurut Glen, sasaran akhir swamitra adalah lahirnya LKM-LKM mandiri dan professional. Swamitra bukan milik Bukopin, tapi sepenuhnya dikendalikano leh koperasi.
Sesuai dengan prinsip koperasi, swamitra pada akhirnya merupakan milik masyarakat, khususnya yang menjadi anggota koperasi bersangkutan.
Buku ini memuat berbagai informasi tentang swamitra yang dihimpun dari perjalanan menyusuri keberadaan swamitra di berbagai pelosok tanah air. Sebagian besar berisi profil swamitra, pernah dimuat di majalah Pusat Informasi Perkoperasian (PIP) yang terbit antara tahun 2004 hingga 2009.
Jadi, merupakan hasil reportase, yang memotret secara riil keadaan swamitra di lapangan.
Pemuatan hasil reportase majalah ke dalam sebuah buku, mungkin menimbulkan sedikit masalah, yaitu soal waktu. Misalnya, profil swamitra yang dimuat di majalah PIP edisi Juli 2004, tentu saja hanya memotret perkembangan swamitra tersebut sampai dengan tahun 2004 saja. Tetapi data otentik tersebut justru menjadi rujukan yang valid dalam memahami operasional swamitra. Di sisi lain ada pula nilai tambah tulisan karena pembaca bisa membuat komparasi perkembangan swamitra dari tahun ke tahun, paling tidak hingga tahun 2011 ketika buku ini ditulis. Buku ini juga dilengkapi dengan data terakhir dari perkembangan swamitra, serta latar belakang kelahiran dan konsep mendasarnya.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga mudah dicerna bagi siapa pun yang membacanya. Walaupun saya melihat masih ada kekurangan terutama tidak adanya analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats), tetapi buku ini sangat layak untuk di baca dan dipahami oleh para stakeholder koperasi, karyawan swamitra dan para pemangku kepentingan di Bukopin serta seluruh pelaku LKM pada umumnya.
Judul Buku : Swamitra, Menggagas Pemberdayaan
Penulis : Irsyad Muchtar
Penerbit : PT Mega Primavista
Cetakan : 1, Maret 2011
Tebal : 308 Halaman
Ditulis oleh : TatangSumarna, SE
Naasnya, keberpihakan lembaga keuangan dalam hal ini perbankan tidak sepenuhnya memberi respon positif bagi peningkatan citra koperasi. Bahkan, ada anggapan memberikan pinjaman koperasi selalu berujung dengan kemacetan karena sebagian besar tata kelola koperasi masih tradisional.
Benarkah lembaga perkoperasian kita selalu tak lepas dari praduga buruk sangka itu?Jawabnya justru muncul dari lembaga perbankan itu sendiri. Ketika sejumlah bank berpaling dari kesulitan tersebut, Bank Bukopin membuat terobosan melalui program swamitra.
Dalam praktiknya, bank ini menjalin kerja sama dengan koperasi untuk membentuk lembaga keuangan yang dikelola secara otonom dan profesional.
Bukopin memang sukses mengembangkan swamitra, namun tudingan sinis juga tak urung merebak. Bank ini dinilai menyedot bunga tinggi terhadap nasabah swamitra. Tapi tudingan itu tidak beralasan kata direktur utama Bank Bukopin Glen Glenardi. Menurut dia, kalau yang menjadi kendala di kredit mikro adalah bunga,maka tidak ada yang namanya money lender atau rentenir. Nyatanya, mereka tumbuh subur di lapis bawah masyarakat, padahal tingkat bunga mereka sangat tidak wajar.
Menarik ungkapan Glen Glenardi, direktur utama Bank Bukopin, yang mengatakan komitmen awal pendirian swamitra adalah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di lapis bawah. Sebab, komunitas lapisan bawah yang akrab disebut pengusaha mikro tersebut umumnya sulit bersentuhan dengan perbankan.
Glen menambahkan ,kendala klasiknya terletak pada agunan dan legalitas usaha. Karenanya saat swamitra beroperasi pada 1997, ia tidak berbicara soal profit. Misinya adalah bagaimana roda ekonomi di lapis bawah menggeliat. Sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) sosok swamitra nyaris tak jauh beda dengan lembaga sejenis yang juga dimiliki sejumlah perbankan. Sebut saja BRI Unit Desa yang sudah sejak lama beroperasi, atau Danamon Simpan Pinjam.
Sebagai lembaga keuangan yang bergerak di lapisan masyarakat bawah, swamitra memahami dengan baik budaya dan kebutuhan pasarnya. Umumnya para pengusaha mikro tersebut membutuhkan kecepatan dan kemudahan. Sedangkan bunga itu sangat relative.
Menurut Glen, sasaran akhir swamitra adalah lahirnya LKM-LKM mandiri dan professional. Swamitra bukan milik Bukopin, tapi sepenuhnya dikendalikano leh koperasi.
Sesuai dengan prinsip koperasi, swamitra pada akhirnya merupakan milik masyarakat, khususnya yang menjadi anggota koperasi bersangkutan.
Buku ini memuat berbagai informasi tentang swamitra yang dihimpun dari perjalanan menyusuri keberadaan swamitra di berbagai pelosok tanah air. Sebagian besar berisi profil swamitra, pernah dimuat di majalah Pusat Informasi Perkoperasian (PIP) yang terbit antara tahun 2004 hingga 2009.
Jadi, merupakan hasil reportase, yang memotret secara riil keadaan swamitra di lapangan.
Pemuatan hasil reportase majalah ke dalam sebuah buku, mungkin menimbulkan sedikit masalah, yaitu soal waktu. Misalnya, profil swamitra yang dimuat di majalah PIP edisi Juli 2004, tentu saja hanya memotret perkembangan swamitra tersebut sampai dengan tahun 2004 saja. Tetapi data otentik tersebut justru menjadi rujukan yang valid dalam memahami operasional swamitra. Di sisi lain ada pula nilai tambah tulisan karena pembaca bisa membuat komparasi perkembangan swamitra dari tahun ke tahun, paling tidak hingga tahun 2011 ketika buku ini ditulis. Buku ini juga dilengkapi dengan data terakhir dari perkembangan swamitra, serta latar belakang kelahiran dan konsep mendasarnya.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga mudah dicerna bagi siapa pun yang membacanya. Walaupun saya melihat masih ada kekurangan terutama tidak adanya analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats), tetapi buku ini sangat layak untuk di baca dan dipahami oleh para stakeholder koperasi, karyawan swamitra dan para pemangku kepentingan di Bukopin serta seluruh pelaku LKM pada umumnya.
Judul Buku : Swamitra, Menggagas Pemberdayaan
Penulis : Irsyad Muchtar
Penerbit : PT Mega Primavista
Cetakan : 1, Maret 2011
Tebal : 308 Halaman
Ditulis oleh : TatangSumarna, SE
• Manager USP Swamitra Koperasi Jaya Kerta Sejahtera
• Pengelola Arjuna Centre (Analisa Sidik Jari dan Konsultan Pendidikan)
• Pengurus Himpunan Wirausaha Mandiri (HAWARI)
• Anggota Dewan Pengawas Green Indonesia Foundation
• Pengelola Arjuna Centre (Analisa Sidik Jari dan Konsultan Pendidikan)
• Pengurus Himpunan Wirausaha Mandiri (HAWARI)
• Anggota Dewan Pengawas Green Indonesia Foundation