Menteri Negara Koperasi dan UKM, Syarief Hasan mengatakan pada tahun 2009 nilai transaksi yang dilakukan oleh UKM sebesar Rp. 2.000 triliun. Produk Domesti Bruto (PDB) pada tahun tersebut adalah Rp 5.603 triliun, maka sumbangan UKM terhadap PDB adalah sebesar 36%. Lain halnya dengan persentase pada tahun 2006 yang lebih tinggi, yaitu 53% dari PDB, atau sebesar Rp 1.778,7 triliun berbanding 3.338,2 triliun. Cukup besar, bukan?
Sedangkan dari sisi daya serap tenaga kerja, sektor UKM telah menyerap sebanyak 86,96% pasar tenaga kerja pada tahun 2008, dengan peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 2,2%. Hal tersebut setara dengan 83 juta angkatan kerja.
Tingginya sumbangan sektor UKM terhadap PDB dan daya serap angkatan kerja pada tahun 2008 tak lain berasal dari sektor-sektor andalan seperti kerajinan, kelautan, dan pertanian. Sedangkan pada tahun 2006, sektor yang memberikan kontribusi tertinggi adalah konstruksi-bangunan, disusul oleh sektor jasa dan pertambangan-galian.
Jika dilihat dari jumlah unit usaha, pada tahun 2004 berdasarkan jumlah UKM yang bergerak di berbagai sektor berdasarkan data BPS adalah sebesar 17.145.244 unit usaha, dan UKM tidak memasukkan UKM disektor pertanian dengan jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 30,547,132 orang.
Namun sayangnya dari beberapa pemberitaan yang ada menunjukkan bahwa UKM masih dilihat sebelah mata. Kendala yang biasa dihadapi oleh para pengusaha UKM adalah sulitnya mendapatkan akses dana baik berupa pinjaman operasional maupun investasi. Hal ini tidak terlepas dari syarat pinjaman yang sering tidak dapat di penuhi oleh pengusaha UKM. Syarat tersebut biasanya berupa jaminan kredit, perhitungan keuangan, ijin mendirikan usaha dan kredibilitas pemilik usaha. Terkait dengan syarat jaminan usaha, kebanyakan UKM terutama yang berskala kecil, tentu tidak memiliki jaminan berupa aset untuk diagunkan. Jangankan memiliki tanah tempat tinggal saja terkadang para pengusaha ini masih menyewa. Sedangkan di sisi manajemen usaha sendiri masih dibilang sangat sederhana, dengan perhitungan pemasukan harian dan tidak memiliki proyeksi pendapatan ke depan, membuat perbankkan sulit menilai kelayakan usaha UKM tersebut. Selain itu kebanyakan perbankkan dalam menyalurkan pinjamannya juga mensyaratkan ijin usaha minimal dari pihak kelurahan. Kendala ijin terkadang dikarenakan kebanyak UKM merupakan orang yang bukan warga setempat, sehingga tidak memiliki KTP yang sesuai dengan tempat usahanya berada. Bagi pihak kelurahn yang mengeluarkan ijin usaha memandang bahwa pengusaha UKM yang bukan berasal dari warga setempat tidak dapat untuk diberikan ijin. Hal inilah juga yang menjadi permasalahan bagi UKM. Untuk itu kebanyakan pengusaha UKM lebih memilih mendapatkan pinjaman dari para rentenir atau lembaga keuangan mikro yang tentu memberikan bunga yang cukup tinggi dari bank umum nasional.
Banyaknya kendala yang dihadapi oleh UKM membuat sektor UKM jalan ditempat, mereka tidak dapat mengembangkan usahanya menjadi lebih formal. Selain kurangnya kemampuan manajemen juga biaya operasional yang tinggi dan tentu saja biaya bunga yang juga tinggi menjadi sebuah kendala besar bagi perkembangan UKM. Tidak adanya insentif dari pemerintah, dan kurangnya advokasi membuat UKM seperti dianaktirikan, padahal sumbangan yang diberikan terhadap pembangunan cukup besar. Disini juga terlihat bahwa adanya ketidakseimbangan keberpihakan pemerintah. Pemerintah lebih mengutamakan memberikan fasilitas yang banyak terhadap pengusaha besar dan investor asing, sehingga yang terjadi adalah akumulasi keuntungan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki modal besar dan pihak asing saja.
Kesimpulan
Jika Rizal Ramli menilai kesalahan pembangunan Indonesia saat ini adalah di level kepemimpinan yang lemah karena tidak memiliki kemampuan konsepsional maupun opreasional (Majlah Garda), sehingga yang terjadi adalah tidak terbaginya secara merata kesejahteraan perekonomian Indonesia kepada setiap warga masyarakat. Selain itu jika dilihat dari Indikator pertumbuhan ekonomi, maka diatas kertas pertumbuhan perekonomian Indonesia tampak cerah dan cemerlang, yang ditunjukkan oleh kenaikan pertumbuhan PDB, IHSG dan capital inflow dari luar negeri. Namun pada kenyataannya tidak terjadi pemerataan pembangunan, hal tersebut dilihat dengan semakin timpangnya indeks ini dari tahun ke tahun.
Besarnya angka kemiskinan penduduk Indonesia menunjukkan adanya ketidakmerataan pendapatan. Pembangunan yang terjadi cendrung hanya berpihak kepada pemilik modal saja, sehingga akumulasi pendapatan hanya berkumpul kepada sebagian masyarakat kaya. Sedangkan di sisi ketenagakerjaan rata-rata tingkat pengangguran Indonesia adalah sebesar 8 juta orang pertahun dari angkatan kerja. Itu pun angkatan kerja yang memiliki pekerjaan dalam satu minggu terakhir hanya diserap oleh sektor UKM yang pada dasarnya saat ini telah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Seharunya Presiden SBY memberikan ucapan terima kasihnya kepada masyarakat UKM yang telah membantu menciptakan programnya yang terkenal dengan Pro Growth, dan Pro Job.
Selain itu perekonomian Indonesia selama ini masih digerakkan oleh sektor informal, hal tersebut ditunjukkan oleh kontribusi UKM kepada PDB yang mencapai 53% ditahun 2006. Sektor UKM pun mampu menjadi penyelamat rakyat Indonesia dalam mencari pekerjaan karena mampu menyerap 83 juta pekerja. Hingga saat ini pun kendala pembangunan Sektor UKM masih belum dapat terpecahkan, terutama sekali mengenai permasalahan permodalan, dan peningkatan kualitas manajemen. Namun sayang sekali dari beberpa pemberitaan, saat ini pemerintah hanya mampu menjadi tempat pencatatan jumlah UKM saja tanpa mampu memberikan perencanaan ataupun strategi untuk mendorong pertumbuhan UKM dan memformalkan usaha mereka.