Colenak Salamina H. Ahmad Bustomi menjadi colenak terpanjang sehingga berhak masuk MURI, 2010 silam. |
Walaupun berasal dari Bandung yang dikenalkan oleh Aki Murdi pada tahun 1930, namun seiring berjalannya waktu, kudapan tradisional ini, kini dapat dengan mudah dijumpai di seantero Tatar Sunda, diantaranya di Kota Tasikmalaya. Tepatnya di jalan Veteran (Simpang Lima, Gunung Pereng). Nama pemiliknya H. Ahmad Bustomi dengan brand Colenak Salamina.
Butuh modal usaha mendesak? Silakan <klik di sini>
Walaupun sebenarnya ada beberapa orang yang menjual penganan, yang memiliki kepanjangan dicocol enak, ini namun colenak milik pria paruh baya inilah yang paling kesohor di kota kelahiran pelantun lagu dangdut "Duh Engkang", Itje Tresnawati ini. Bahkan, masih di kawasan Simpang Lima Gunung Pereng, tak jauh dari kios Colenak Salamina, ada juga yang menjual makanan sejenis. Akan tetapi, jika diperhatikan, saat saya berkunjung ke sana pertengahan Agustus 2015 lalu, sepi dari pembeli. Berbeda dengan colenak, yang dalam bahasa Indonesia berarti Selamanya, ini selalu ramai oleh pembeli.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab terjadinya pemandangan kontras seperti itu? Usut punya usut, ternyata Colenak Salamina merupakan salah satu pionir kuliner berbahan utama singkong ini. Ditambah lagi, Colenak Salamina pernah diikutsertakan dalam sebuah perhelatan akbar, kerjasama antara MURI dan kampus Unpad. Colenak Salamina berhasil menyingkirkan pesaing lainnya, termasuk dari Bandung, menjadi colenak terpanjang di Indonesia pada 2010 silam.
Oleh karenanya, tak mengherankan jika Colenak Salamina menjadi yang terpopuler di Kota Tasikmalaya, bahkan se Priangan Timur (Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Pangandaran)
Tidak Monoton
Kebiasaan di Indonesia, jika ada olahan makanan yang enak kemudian laku keras di pasaran, maka akan diikuti oleh banyak orang. Istilahnya disebut latah. Tidak terkecuali dengan colenak. Tiga puluh tahun lalu, saat Ahmad Bustomi mulai membuka usaha ini, dan ternyata masyarakat merespon dengan sangat antusias dalam waktu singkat, maka orang lain pun ikut-ikutan nimbrung membuka usaha sejenis dengan harapan akan mendapat cuan yang besar.
Namun, selayaknya hukum alam yang selalu menyeleksi mahluknya, usaha kuliner yang berasal dari tape singkong yang dibakar lalu dicampur kuah gula jawa dan parutan kelapa, ini juga tidak luput dari seleksi alam. Satu per satu usaha, yang awalnya bak jamur di musim hujan, ini pun berguguran alias gulung tikar.
Butuh modal usaha mendesak? Silakan <klik di sini>
Akan tetapi, tidak demikian dengan colenak Achmad Bustomi. Colenaknya terbukti bisa bertahan lebih dari tiga dasa warsa. Bukan hanya bertahan, justru dari waktu ke waktu omsetnya semakin meningkat. ”Kami sudah berjualan di sini sejak tahun 1980. Berarti sudah tiga puluh tahun lebih mengenalkan colenak kepada warga,” ungkap pria setengah baya ini bercerita kepada saya, Sabtu (15/8/2015).
H. Ahmad Bustomi, pemilik dan pendiri Colenak Salamina, Simpang Lima, Gunung Pereng, Tasikmalaya. |
Seolah ingin menunjukkan kepada kita yang kadang-kadang cenderung hedonis dan kebarat-baratan, pria yang akrab dipanggil Kang Haji ini justru memodifikasi kudapan ini sehingga bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat, baik dari sisi tampilan maupun rasa.
Dari sisi tampilan, misalnya, pria kelahiran kota resik dan campernik ini mampu menyajikan kudapan ini layaknya makanan kelas resto atau hotel berbintang. Kemasan berbentuk kotak yang berfungsi sebagai pembungkus jika colenak ini hendak dibawa pulang, juga demikian. Selain rapi, ornamen-ornamennya pun cukup bagus. "Buat oleh-oleh saudara di kota juga pantes, Pak," katanya kepada saya di sela-sela melayani para pembeli lain.
Perpaduan antara tradisional dan modern, colenak dengan topping parutan keju. |
Agar tetap disukai oleh generasi muda, colenak dipadukan dengan pisang bakar, dengan tampilan yang menarik. |
Digemari Bukan Hanya oleh Warga Kota Tasikmalaya
Proses pembuatan colenak, mula-mula adalah membakar tape lalu diiris-iris menjadi potongan kecil. Setelah itu, dicampur kuah gula jawa yang kuahnya sudah dicampur bahan lain seperti daun pandan, kelapa yang sudah diparut dan gula pasir. Pembuatannya pun cukup mudah dan tak banyak makan waktu.
Penggemar colenak Salamina tak hanya berasal dari dalam Kota Tasikmalaya. Dari luar kota pun ada yang terkesan dengan citarasa colenak ini. Mereka yang pulang kampung ketika mudik lebaran, misalnya, sengaja menyambangi kawasan bekas areal terminal bus ini hanya untuk menyicipi colenak.
”Keluarga kami tergolong penggemar berat colenak. Ketika pulang ke kampung halaman pasti makan colenak di depan Mega M. Rasanya ngangenin,” ujar Nurlela, warga Kecamatan Cipedes yang merantau ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Selain digemari oleh warga dari berbagai daerah, colenak juga digemari oleh hampir semua kalangan. Hal itu disebabkan oleh harganya yang cukup terjangkau. Satu porsi colenak Salamina dihargai Rp 10.000,- saja. Selain dari harganya yang terjangkau, colenak juga disukai oleh kaum lanjut usia karena tak berat kala dikunyah. Bahan baku colenak yang cukup lembut tak membuat orang capek mengunyah colenak. Tape dan pisang yang telah dibakar dan dilumuri saus kinca cepat lumer saat masuk mulut.
Semoga, kuliner-kuliner tradisional lainnya di seluruh Indonesia bisa mengikuti jejak colenak H. Ahmad Bustomi, tetap digandrungi oleh masyarakatnya. Bahkan, tidak mustahil, akan disukai oleh turis mancanegara. Dan, yang terpenting, akan tetap lestari sebagaimana nama colenaknya, "Salamina", yang berarti selamanya. ***
Butuh modal usaha mendesak? Silakan <klik di sini>